Minggu, 15 Agustus 2010

Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa

Musafir

Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184: “Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”

Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari'at bagi orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam perjalanan yang meletihkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi'I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau berkata: “Saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin 'Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air di atas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”

Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.”

Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus untuk mengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.

Orang yang sakit

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184: “Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Wanita haid atau nifas

Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: “Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.” Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha riwayat Imam Al-Bukhary: “Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: "apakah kamu nifas," maka saya menjawab : "Ya." Lalu beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.” Pertanyaan beliau : "Apakah kamu nifas" padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alaihi wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.

Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa

Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.

Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184: “Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan(Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)


Artikel Lain:

Comments :

1

Assalamualaikum,
Maha Suci Allah, dan Allah tidak memberati hambaNya dalam kehidupan yang fana ini

arek Indonesia mengatakan...
on 

Posting Komentar